Entah apa yang dipikirkan warga Indonesia (baca: oknum). Mereka cenderung kepo, pengin tahu apa saja, dari hal-hal sepele, menyenangkan, hingga peristiwa menyedihkan. Rasanya ingin harus lihat sendiri, terus foto, diupload, dan terlihat eksis.

Anomali 1

bom sarinah

Keanehan a.k.a anomali ini terlihat di peristiwa bom Sarinah. Tahu kalau ada bom, tahu kalau para teroris masih berkeliaran di sekitar situ, eh … para WNI ini nekat berbondong-bondong nonton. Selain membahayakan nyawa sendiri, mereka justru mengganggu evakuasi, dan memberikan “beban” yang lebih berat ke pundak pihak petugas. Yap, pihak petugas harus melindungi mereka yang berbondong-bondong hanya untuk nonton peristiwa ini.

Saya tadi melihat berita di Net TV, saat itu reporter sedang mewancarai seorang bapak yang ikut menonton di tempat kejadian perkara. Katanya, walaupun rumahnya jauh, dia menyempatkan diri untuk nonton. Saat ditanya mengapa bapak ini tidak takut. Ia pun menjawab, karena di sini banyak petugas yang—menurutnya—siap untuk melindungi dia dan warga penonton lain.

Gila! Dikira ini film?? Disempat-sempatin nonton kejadian mencekam seperti ini bahkan merasa para aparat/petugas memiliki kekuatan yang mampu memberhentikan ledakan bom dan tembakan pistol.

Saya tidak mengajarkan untuk panik; lari-lari berbarengan sambil teriak-teriak “bom bom!”, bukan itu. Saya ingin mengajak Anda untuk pergi dari situasi buruk seperti itu. Biarlah para petugas (Polisi - TNI), medis, dan wartawan yang ada di situ. Anda sipil? Pergilah! Kalau sempat menolong beberapa korban, lakukan sebisanya. Ingin memfoto dan merekam? Lakukan dari jarak yang sangat jauh.

Anomali 2

Warga Indonesia itu oportunis yang gila! Di area TKP bom Sarinah, masih sangat banyak warung-warung makan yang buka, padahal tahu bahwa di situ baru saja ada bom meledak dan tembak-tembakan.

Saya yakin anomali kedua ini terjadi karena anomali pertama ada. Mumpung ramai, warung tetap buka, supaya penonton kalau lapar makan di warung makan saya.

Dang! Dikira ada yang main wayang, nyanyi dangdut dan koplo-an sampai-sampai seoportunis itu.

Anomali 3

Warga Indonesia (mungkin) sudah terbiasa dengan gambar atau foto mengganggu (disturbing picture), foto yang menggambarkan korban kecelakaan atau korban bencana.

Anomali ketiga ini mungkin cocok saya tujukan ke para wartawan yang sama sekali tidak menyensor gambar korban ledakan. Secara terang-terangan mereka melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 4 yang berisi “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”.

Anomali ini juga bisa ditemukan di pasca kecelakaan. Masih ingat jatuhnya pesawat jet Golden Eagle T-50i di Yogyakarta kemarin? Setelah itu terjadi, di BBM tersebar gambar pilot yang meninggal secara mengenaskan.

Satu-satunya “tersangka” pengambil dan penyebar foto ini saya kira justru dari pihak TNI sendiri. Siapa pula yang bisa masuk ke area jatuhnya jet selain TNI?

Kepada sang pengambil dan penyebar foto mengenaskan seperti itu, saya harap hentikan. Bagi orang sipil dan militer, memang tak ada aturan mengenai hal ini dibanding wartawan dengan Kode Etik nya. Tapi, dengan perasaan, Anda pasti bisa merasa etis atau tidakkah hal itu. Kasihan keluarga yang ditinggalkan jika melihat foto tersebut.

 

 

Cukup, hentikan. Hentikan anomali konyol ini sekarang juga. Jangan seperti air yang anomalinya tidak akan hilang.

Dan sebagai penegas saya ulangi. Anomali 1 dan Anomali 2 sama sekali tidak mengajarkan panik, tapi waspada dan siaga. Sayangi nyawa Anda. Kata orang populer, “stay safe!”.

#PrayForJakarta

Menyimpan file yang sangat banyak menjadi merepotkan apabila kita tidak me-manage nya dengan baik.

Ada dua metode manajemen file yang saya pakai,

Pertama, menggunakan folder/direktori. Cara ini sangat konvensional, tapi efektif. Setiap file yang berhubungan dengan kegiatan atau topik tertentu dimasukkan dalam direktori tersendiri.

Misalnya, direktori “Pramuka” berisi file-file yang berhubungan Pramuka. Di direktori ini dibagi lagi menjadi sub-sub direktori berdasarkan tipe file; gambar, dokumen, video, dll sesuai kebutuhan. Setiap sub direktori bisa dibagi menjadi sub-sub direktori lagi, bisa berdasarkan jenis file (presentasi, sheet, pdf, dokumen biasa), atau sesuai kegiatan (kemah, rapat).

Contohnya (di Windows ganti ls dengan dir, abaikan $):

$ ls Pramuka
Gambar    Video   Dokumen

$ ls Pramuka/Gambar
ke-pantai.jpg   rapat-kemah.png

$ ls Pramuka/Video
pelantikan.mp4

$ ls Pramuka/Dokumen
rapat-1Januari16.odt    daftar-peralatan-kemah.ods

Metode pertama ini cocok dipakai untuk file-file yang disimpan dalam jangka panjang, yang ingin disimpan selamanya.

Kedua, menyimpan file dengan sufiks sebelum ekstensi file. Sufiks yang dimaksud berupa kata kunci atau keyword sesuai isi file.

Misalnya, file yang berhubungan dengan pramuka disimpan dengan sufiks “pramuka” atau disingkat menjadi “pmk”; jadwal-kemah-pmk.ods, rapat-2016-pmk.jpg, catatan-singkat-pmk.odt, dsb.

Metode kedua ini cocok dipakai untuk file yang tidak bertahan lama, yang dalam waktu dekat akan dihapus.

Mengapa cocok dipakai untuk file berumur pendek? Karena saya bisa menghapusnya dengan sangat mudah tanpa harus lewat file manager atau explorer.

Contoh (di Windows ganti rm dengan del, abaikan $):

Untuk menghapus semua file yang berhubungan dengan pramuka.

$ rm *-pmk.*

Untuk menghapus file gambar yang behubungan dengan pramuka.

$ rm *-pmk.jpg
$ rm *-pmk.png

    Begitulah cara saya me-manage banyak file. Bagaimana dengan Anda? Ada masukkan?

Hari Minggu, 8 November kemarin, bersama “geng” rohis SMA, kami ngacir piknik ke Pantai Greweng.

Katanya, jalan-jalan ini memang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Tapi karena saya kudet, saya baru tahu rencana ini Sabtu siangnya. Terimakasih Rian atas SMS nya.

Sebelum berangkat, saya sempat berpikir kalau nantinya kami naik motor sendiri-sendiri. Walaupun saya agak sangsi, toh saya tetap siap dengan motor ber-Pertamax penuh pagi hari itu.

Taraa, jemputan dari teman-teman ternyata menggunakan mobil dengan “sponsor” *sensor*.net (maap Dan, sensor akan dilepas setelah situ juga sponsorin blog ini :p), dan dikendarai oleh Kurnia. Saat itu sekitar pukul 8.30. Kemudian kami melaju ke rumah Rian dan ke jl Flamboyan, tempat berkumpul para ladies, eh .. teman-teman perempuan kami sekaligus sebagai jemputan terakhir sebelum pergi ke Greweng.

Persiapan yang sangat matang. Jujur saya kagum dengan hal itu. Piknik ini lengkap dengan bekal nasi, gudeg, teh, cemilan, alas tempat duduk yang disiapkan teman-teman saya.

Berangkat! Kami terdiri dari 4 laki-laki; 2 depan dan 2 belakang. Dan 3 perempuan; kursi tengah. Perjalanan saat itu menempuh waktu tiga jam, karena faktor macet di daerah Berbah dan di beberapa titik jalan Gunungkidul.

Pantai Greweng merupakan pantai baru di timur pantai Wediombo, lokasinya di kecamatan Girisubo Gunungkidul. Kami sempat salah jalan, di persimpangan yang seharusnya belok kanan (jalan ke Wediombo), kami malah belok kiri.

Akhirnya kami sampai di tempat tujuan.

Saat itu tempat parkir Wediombo sangat penuh, butuh proses yang cukup lama untuk mengistirahatkan mobil di tengah belasan mobil lain dan motor yang terparkir di situ. Ini juga sempat kami sesali, di atas, di utara tempat parkir Wediombo sebenarnya ada tempat parkir ke Greweng, dan saat itu memang cukup lengang. Tapi tak apalah.

Satu-satunya akses ke pantai Greweng adalah jalan setapak terjal. Butuh waktu sekitar 45 sampai 50 menit untuk menuju ke pantai ini. Dan kami sampai dengan selamat tanpa hambatan, dengan diselingi satu kali istirahat.

Bisa dibilang, pantai Greweng masih dalam kategori pantai privat. Masih sangat sepi. Di situ pun hanya ada 4 penjual makanan.

mantai ke greweng

Kami sampai di lokasi sekitar jam 1-1.30. Cari tempat teduh, gelar tikar, langsung makan besar sambil dihibur pasir, deburan ombak, dan dihibur oleh orang-orang mojok.

Setelah makan besar, waktunya sholat dengan membagi diri menjadi 2 kloter sholat. Yang disusul dengan acara leyeh-leyeh dan foto-foto. Sayang, saya lupa membawa Samsung WB35F saya, sehingga beberapa suasana hanya saya rekam dengan ponsel ber-resolusi 640x480 pixel.

Sekitar jam 4 sore, kami mulai berjalan pulang menyusuri jalan setapak. Dan mampir ke pantai Wediombo untuk melihat sunset. Karena si matahari hanya melirik di balik mendung, kami pun pulang lebih cepat, sebelum matahari benar-benar terbenam.

Jam 5.30-an, kami mulai berjalan pulang naik mobil Multi Purpose Vehicle kami. Melewati jalan berkelok-kelok gelap, tapi dengan obrolan yang lebih ramai daripada saat berangkat.

Sampai Wonosari, kami sempatkan pula mampir bakmi Jowo, yang disponsori langsung oleh kepala “geng”.

Sekitar jam 9 malam, mobil kami sudah berhenti di jl Flamboyan. Selain untuk mengantarkan 3 teman kami, tempat ini juga dipakai untuk mengumpulkan uang iuran, guna mengganti biaya bahan bakar mobil, makanan, tiket masuk wisata, dan lain sebagainya.

Yah, begitulah acara mantai di pantai Greweng hari Minggu lalu.

Cerita ini akan diupdate bila dirasa ada yang kurang detail. Nama ketiga teman perempuan tidak saya tulis demi menjaga privasi. Nama akan ditulis by request oleh ybs.

Oh iya, saya juga merekam perjalanan pulang melalui jalan setapak (sedang diunggah). Sayang, ponsel saya keburu low batt sebelum kami menyentuh tempat parkir mobil.

Update:

Ini dia video jalan-jalan kemarin, dari rembug via WA sampai foto-foto di pantai. Karyanya M*****! (masih ingatkan? nama teteh-teteh di sini saya sensor semua :D)

Berawal ketika saya memperbarui ruby ke ruby-2.1.6 dan racc ke racc-1.4.11, saya mendapati error saat saya membangun racc dengan target RUBY_TARGETS="ruby21" berupa invalid ELF header pada libz.so.1.

# cat /var/tmp/portage/dev-ruby/racc-1.4.11/work/ruby21/racc-1.4.11/ext/racc/mkmf.log

"x86_64-pc-linux-gnu-gcc -o conftest -I/usr/include/ruby-2.1.0/x86_64-linux -I/usr/include/ruby-2.1.0/ruby/backward -I/usr/include/ruby-2.1.0 -I.    -march=native -O2 -fno-strict-aliasing -fPIC conftest.c  -L. -L/usr/lib64 -L. -Wl,-O1 -Wl,--as-needed -fstack-protector -rdynamic -Wl,-export-dynamic -Wl,--no-undefined     -lruby21  -lpthread -lgmp -ldl -lcrypt -lm   -lc"
/usr/libexec/gcc/x86_64-pc-linux-gnu/4.8.4/cc1: error while loading shared libraries: /usr/lib64/libz.so.1: invalid ELF header
checked program was:
/* begin */
1: #include "ruby.h"
2:
3: int main(int argc, char **argv)
4: {
5:   return 0;
6: }
/* end */

Ok, apa yang terjadi?

$ ls -l /usr/lib64/libz*
-rwxr-xr-x 1 root root 88456 Mar 17 22:13 /usr/lib64/libz.so
lrwxrwxrwx 1 root root     7 Mar 17 22:13 /usr/lib64/libz.so.1 -> libz.so

$ readelf -h /usr/lib64/libz.so
readelf: Error: Unable to read in 0x7964 bytes of section headers
readelf: Error: Not an ELF file - it has the wrong magic bytes at the start

libz.so di /usr/lib64/libz.so tidak dianggap sebagai berkas ELF. Berbeda dengan libz.so yang ada di /lib64.

$ ls -l /lib64/libz*
lrwxrwxrwx 1 root root    13 Mar 17 23:29 /lib64/libz.so.1 -> libz.so.1.2.8
-rwxr-xr-x 1 root root 88456 Mar 17 23:29 /lib64/libz.so.1.2.8

$ readelf -h /lib64/libz.so.1.2.8
ELF Header:
  Magic:   7f 45 4c 46 02 01 01 00 00 00 00 00 00 00 00 00
  Class:                             ELF64
  Data:                              2's complement, little endian
  Version:                           1 (current)
  OS/ABI:                            UNIX - System V
  ABI Version:                       0
  Type:                              DYN (Shared object file)
  Machine:                           Advanced Micro Devices X86-64
  Version:                           0x1
  Entry point address:               0x2360
  Start of program headers:          64 (bytes into file)
  Start of section headers:          86792 (bytes into file)
  Flags:                             0x0
  Size of this header:               64 (bytes)
  Size of program headers:           56 (bytes)
  Number of program headers:         7
  Size of section headers:           64 (bytes)
  Number of section headers:         26
  Section header string table index: 25

Masalah sudah jelas! Saatnya copy-kan /lib64/libz.so.1.2.8 ke /usr/lib64/libz.so.

# cp /lib64/libz.so.1.2.8 /usr/lib64/libz.so

Taraa! Kompilasi lancar dan bisa dilanjutkan.

kids

Pernah membaca artikel mengenai hal-hal menakutkan yang pernah dikatakan anak kecil? Ini terjadi pada saya siang tadi, bukan tentang hal horor, tapi tentang hal bersifat kejam (kalau boleh saya katakan).

Siang agak terik, ketika warga kampung tengah sibuk berada di bawah tenda takziyah. Jalan arah barat-timur itu sudah di tutup sejak malam harinya.

Depan saya duduk seorang anak kecil—tetangga saya, baru masuk TK hari Senin lalu. Ngobrol ngalor-ngidul, dia kemudian menunjuk papan penutup jalan ujung jalan bagian barat.

“Eh, itu ditutup.”

“Iya,” jawab saya.

Lalu jarinya beralih ke arah ujung jalan bagian timur.

“Itu juga.”

“Iya itu juga, biar nggak ada mobil jalan ke sini.”

Dengan segera, anak itu menyahut,

“Oo, iya yaa. Nanti yang di sini (ketabrak -red) mati semua.”

Dengan ekspresi ganteng, eh .. saya hanya menimpali,

“Ya, nggak laah. Yang di sini nanti lari duluan.”

Sulit untuk mengekspresikan cerita ini melalui blog, apakah saya harus ber-haha atau tersenyum getir. Jawaban seorang anak 4-5 tahun ini membuat saya berpikir kembali, apakah ada yang salah dengan media hiburan dan lingkungan mereka?

Gambar: Flickr/epSos.de, hanya ilustrasi